Senin, 02 Desember 2013

PSIKOANALITIK



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dewasa ini sering kita jumpai kesenjangan antara perilaku masyarakat dengan lingkungan maupun lainnya. Baik dari usia dini (kanak-kanak), remaja, dewasa, dan tua sekalipun. Kebanyakan orang lebih dominan melakukan suatu perbuatan tanpa pikir panjang, tanpa memikirkan efek dan juga dampaknya dikemudian hari. Sering kita dengar mereka lebih memutuskan ego dalam mengambil suatu tindakan, sehingga menghasilkan suatu tindakan yang cenderung mengarah ke arah negatif. Namun tak jarang juga masih ada orang yang mampu meredam egonya dalam menguasai diri karena setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda.
Pada abad ke-19 diwarnai oleh perkembangan berbagai terapi psikologis. Sebagai contoh, di Amerika Serikat muncul gerakan yang sangat populer dan tersebar luas yang disebut “Mind Cure” yang berkembang dari tahun 1830 hingga 1900. “Mind Cure” merupakan usaha untuk mengoreksi “pikiran-pikiran yang salah” yang membuat seseorang menjadi cemas, depresif dan tidak bahagia (Caplan, 1998). Gerakan “Mind Cure” merupakan cikal bakal dari munculnya terapi kognitif modern dalam hal psikologi.[1]
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan mengupas mengenai teori-teori kepribadian (Psychoanalytic), dalam makalah yang berjudul “Psikoanalitik”.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa pencetus teori-teori kepribadian (psikonalitik)? Beserta pemikiranya!
2. Bagaimana konsep-konsep dasar psikoanalitik?
3. Bagaimana pendekatan-pendekatan psikoanalitik?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui para pencetus teori-teori kepribadian (psikoanalitik)
2.Untuk mengetahui  konsep-konsep dasar psikoanalitik.
3. Untuk mengetahui pendekatan- pendekatan psikoanalitik.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.                Pecetus Teori-Teori Kepribadian ( Psikoanalitik)
Mempelajari kepribadian seseorang merupakan suatu hal yang cukup menarik dan menantang, karena setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam sejarah psikologi banyak kita temukan para pemikir yang terpusat pada kepribadian seseorang. Namun dari sekian banyak ilmuan akal, hanya ada beberapa pemikiran yang mampu membuat dunia terpana kepadanya. Diantaranya adalah sang ahli kepribadian yang pertama dan utama  yaitu Sigmund Freud, yang kemudian dilanjutkan oleh murid dan temannya yaitu Carl Gustav Jung, dan Alfred Adler serta beberapa ahli lainnya.

1.      Teori Sigmund freud (1856-1939)
Pembagian kepribadian manusia terdiri  atas tiga unsur yang dicetuskan oleh Sigmund Freud dengan aliran psikologinya yang disebut psikoanalitik.[2]Tiga unsur tersebut terdiri dari Id, ego,dan super ego. Ketiganya merupakan suatu hal yang tidak bisa dipungkiri ada dalam diri manusia dengan tahapan dan tingkatan masing-masing. Teori ini juga mencoba menjelaskan normalitas dan abnormalitas psikologis dan perawatan terhadap orang – orang yang tidak normal.[3]
Berikut kita akan membahas mengenai tiga unsur yang terdapat dalam diri manusia.
Id[4]                    
Id adalah system kepribadian bawaan atau yang paling asli dari manusia. Pada saat di lahirkan, seseorang hanya memiliki id saja. Unsur kepribadian ini merupakan tempat bersemayamnya naluri-naluri yang sifatnya buta dan tidak terkendali. Ia hanya menurut dan mendesak di puaskannya naluri-naluri tersebut. Id dapat diumpamakan sebagai kawah gunung merapi yang terus mendidih dan bergolak. Ia tidak dapat menoleransi ketegangan serta ketidak nyamanan serta berdaya upaya untuk melepaskan ketidak nyamanan atau ketegangan itu sesegera mungkin.
            Asas yang mengatur bekerjanya id ini adalah asas kesenangan (pleasure principle) yang diarahkan bagi pengurangan ketegangan atau ketidak nyamanan guna mencapai kepuasan atau kebahagiaan naluriah. Karena bekerjanya hanya di dorong oleh asas kesenangan semata, maka Id bersifat tidak logis, amoral, dan hanya memiliki satu tujuan semata, yaitu memuaskan kebutuhan-kebutuhan naluriah sesuai dengan asas kesenangan tersebut . Id tidak pernah menjadi dewasa dan selalu menjadi unsur anak manja dalam kepribadian manusia.Id ini bersifat tidak sadar.
            Seorang bayi yang menangis keras-keras saat lapar atau merasa tidak nyaman di dorong oleh Id ini. Tangisan yang dilakukannya semata-mata untuk melepaskan diri dari rasa lapar dan tidak nyaman itu.
Ego
Ego timbul pada diri anak-anak yang sedang berkembang, menurut Freud, untuk mengenai transaksi mereka sehari-hari dengan lingkungan ketika mereka belajar bahwa suatu realitas (kenyataan) yang terlepas dari keinginan dan kebutuhan mereka sendiri. Ego ini sebenarnya merupakan bagian dari Id, tetapi sudah dimodifikasi sedemikian rupa karena sudah lebih dekat dengan dunia luar individu. Salah satu tugas utama dan penting dari ego adalah mencari dan  menemukan objek yang dapat memenuhi dan memuaskan kebutuhan Id. Karena itu, ego harus menyusun semacam kerja sama antara kebutuhan Id dan tuntutan lingkungan. Berbeda dengan  id, ego ini sangat terkendali, realistic, dan logis.[5]
Sebelumnya, seorang bayi hanya dapat menangis di kala lapar atau mengalami ketidaknyamanan. Kini bila bayi tersebut tumbuh manjadi seorang anak, maka ia tidak lagi menangis pada saat lapar. Ia akan sedapat mungkin berusaha mencari cara dalam memuaskan rasa laparnya itu. Ia akan mencari dan mengambil makanan apa saja yang dijumpainya tanpa memikirkan siapa yang memiliki makanan itu.[6]
Superego[7]
Superego merupakan unsur moral atau hukum dari kepribadian manusia. Ia merupakan aspek moral dari seseorang yang menentukan benar dan salahnya perbuatan yang dilakukan. Ia menampilkan hal-hal yang ideal dan bukannya riil, berbeda dengan Id yang di gerakkan oleh asas kesenangan, superego digerakkan oleh asas kesempurnaan.Superego terdiri dari nilai-nilai tradisional serta norma-norma ideal dalam masyarakat yang di ajarkan oleh orang tua terhadap anaknya. Fungsi superego adalah untuk menghambat dorongan- dorongan pemuas yang berasal dari Id.
Demikianlah menurut Freud, Id merupakan unsur yang sangat penting dari kepribadian manusia. Id hadir hanya dari bentuk naluri atau nafsu seks dalam diri manusia. Jadi, seseorang menurut Freud tak lain dan tak bukan adalah perwujudan dari aktivitas seksual, yakni nafsu  seks dan tanggapan terhadap kebutuhan tersebut. Menurut teori Freud, manusia tak lebih dari sekedar budak abadi dari Id dan superego seta pertentangan yang terjadi di antara keduanya, atau barangkali ia adalah budak dari nilai masa lalu yang di ciptakan berdasarkan spekulasi belaka dan disebut hal baik atau buruk dalam masyarakat.
Menurut istilah Freud, ego menduduki posisi tidak enak, bahkan celaka, karena harus melayani 3 majikan ynag sama kuatnya (yaitu, Id, Superego, dan realitas), dan harus selalu mengusahakan agar ketiganya dipuaskan.[8]
2.        Teori Carl Gustav Jung (1875-1961)
Carl Gustaf  Jung merupakan seorang dokter jiwa muda  yang berdomisili di zurich pada tahun 1907. Setelah kunjungannya ke Wina, ia dinyatakan oleh Freud sebagai penerusnya. Tiga tahun berikutnya, persahabatan mereka hancur total, karena Jung menolak teori-teori Freud dan mengemukakan teorinya sendiri.[9]
Jung tidak dapat menerima pendapat Freud bahwa libido itu sepenuhnya diwarnai oleh kenikmatan seksual dan juga terhadap penekanan pada masa kanak-kanak. Jung seringkali dihubungkan dengan pandangan bahwa manusia pada dasarnya mewarisi keidaksadaran kolektif. Yang tetap memegang teguh nenek moyangnya, hubungan antar mereka jaman dulu, dan pengalaman-pengalaman mereka. Kenangan itu, menurut Jung menimbulkan bayangan-bayangan seperti orangn tua bijaksana, tanah tumpah darah yang menyuburkan impian, delusi, dan khayalan. Sajak, mitos, dan pernyataan keagamaan dipandang bersumber dari ketidaksadaran kolektif ini. Jung mengasumsikan bahwa orang dilahirkan dengan ketidaksadaran pribadi, yaitu kenangan pribadi yang direpresi.[10]
Bagi Jung, ego berarti kesan-kesan yang kita alami dalam keadaan “sadar”, ingatan – ingatan (memori), pikiran – pikiran dan perasaan alam bawah sadar individu (personal) terdiri dari hal – hal yang pernah kita alami, namun telah ditekan hingga alam bawah sadar, dilupakan atau diabaikan. Kesannya begitu lemah sehingga kita tidak menyadarinya lagi. Gagasan – gagasan yang menyakitkan dan pemikiran – pemikiran yang tidak matang bagi kesadaran ditekan dan diabaikan.[11]
Alam bawah sadar kolektif adalah tempat menyimpan ingatan laten yang diwarisi seseorang dari nenek moyang, sedangkan persona adalah topeng yang ditampilkan seseorang sebagai tanggapan atas lingkungan sekitarnya atau tuntutan masyarakat. Maksudnya adalah kita terkadang tidak dapat menjadi diri kita sendiri karena masyarakat tidak menghendakinya, sebagai contoh, kita harus mematuhi adat istiadat atau aturan kesopanan karena aturan itu sudah lazim dimasyarakat, padahal aturan atau adat istiadat itu belum tentu kita setujui.[12]
Selain itu, persona juga ditampilkan  untuk memuaskan kebutuhan –kebutuhan arketipal kita. Anima dan Anima adalah sifat kejantanan dan kewanitaan yang ada dalam setiap diri seseorang terlepas dari jenis kelaminnya. Bayang – baying arketipal merupakan himpunan ingatan terpendam yang diwariskan dari nenek moyang. Sedangkan sang ”diri’’ merupakan kepribadian total yang menjadi tempat melekatnya unsur – unsur kejiwaan lainya. Setelah memahami teori Jung ini, kita dapat menyimpulkan bahwa seseorang bertindak atas dorong arketipalnya.[13]
3.      Teori Alfred Adler(1870-1937)
Alfred adler dilahirkan di Wina pada tahun 1870 dan wafat di Aberdeen, skotlandia pada tahun 1937. Ia adalah seorang dokter ahli kejiwaan dan juga menjadi anggota dari Vienna Psichoanalic Society (perkumpulan ahli psikonalisis Wina), mana belakangan ia dipilih menjadi presidennya.[14] Adler juga berpendapat bahwa penekanan terhadap seksualitas terlalu berlebihan. Sehingga dia menekankan pentingnya pengaruh lingkungan terhadap perilaku orang – orang dan berpendapat bahwa kepribadian pada dasarnya adalah sebuah kepribadian sosial dan bahwa perasaan rendah diri manusia itu merupakan pusat motivasi yang ada pada manusia sendiri.
Berbeda dengan pandangan Freud bahwa kebiasaan manusia didorong oleh naluri – naluri buta (yakni id – penulis) dan Jung yang mengatakan bahwa tindakan manusia didorong oleh arketipal – arketipal, Adler  berpendapat bahwa manusia terutama dimotivasi oleh dorongan – dorongan masyarakat. Manusia, menurut Adler, pada dasarnya adalah makhluk sosial. Mereka menghubungkan dirinya dengan orang lain, terlibat dalam kegiatan – kegiatan kemasyarakatan,menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, serta menjalankan gaya hidup yang didominasi oleh orientasi kemasyarakatan.
Sumbangsih kedua Adler terhadap teori kepribadian adalah konsep kepribadian kreatif. Ciri khas teori Adler yang membedakannya dengan psikoanalitik klasik adalah penekanannya terhadap uniknya kepribadian. Kemudian Adler memandang bahwa kesadaran merupakan pusat dari kepribadian, yang membuatnya sebagai pelopor ilmu kejiwaan yang berorientasikan ego.[15]  

B.                 Konsep – Konsep Dasar Psikoanalitik[16]
Ketika karir kedokterannya baru mulai meningkat, Sigmund Freud menjadi semakin tertarik pada bidang ilmu neurologi dan psikiatri. Didorong oleh kebutuhan untuk mengembangkan ketrampilan klinis kedokteran yang bisa menghasilkan uang, ia semakin mengabaikan penelitian bidang biologi dan mencurahkan lebih banyak perhatiannya pada masalah-masalah yang menjangkiti pasien. Pada tahun 1885, Freud pergi ke Paris untuk belajar pada seorang neuropatolog terkenal, J.M. Charcot. Sehingga dalam proses pembelajarannya dia mampu menghasilkan ide, setidaknya sebuah kontribusinya dalam mengatasi masalah psikologi.
Pada saat itu, Charcot sedang mempelajari masalah Hiteria (Hysteria). Meskipun histeria tidak begitu umum pada masa kini, gangguan tersebut cukup menjadi masalah pada masa itu. Cukup tepat untuk mengatakan bahwa histeria adalah penyakit yang populer. Banyak orang, terutama Wanita muda, mengalami berbagai bentuk kelumpuhan tanpa penyebab organis apapun. Terkadang, hampir seperti mukjizat, mereka bisa disembuhkan melalui pengaruh Sosial dan Psikologis. Sebagai contoh, Charot dan Pierre Janet ( Janet, 1907 ) menggunakan Hipnosis (Hypnosis) untuk menyembuhkan histeria. Ide dibalik terapi tersebut adalah bahwa, tanpa sepengetahuan pasien, adalah adanya kekuatan Psikologis di dalam pikiran yang menyebabkan dideritanya penyakit fisik. Dengan melegakan ketegangan psikologis didalam diri, tubuh luar bisa terbebaskan.
1.      Ketidaksadaran dan Teknik Terapi
Pada awalnya Freud menggunakan hipnosis, namun akhirnya ia menganggap hipnosis tidaklah efektif pada banyak pasiennya. Kemudian, Freud terpengaruh oleh sesama dokter dan psikolog , Josef Breur, mulai melakukan eksperimen, beralih dari hipnosis dan bentuk sugesti intensif lainnya ke teknik Asosiasi Bebas (Free Association). Asosiasi ide - ide dan perasaan yang muncul secara spontan, dan akhirnya ia mengalihkan perhatiannya yang muncul secara spontan dan akhirnya ia mengalihkan perhatiannya ke mimpi ( Breuer & Freud, 1957 ). Freud semakin menyadari bahwa sebagian besar pasiennya tidak secara sadar terhubung dengan konflik-konflik di dalam diri yang ia anggap merupakan penyebab masalah mental dan fisik yang mereka alami. Namun mimpi mungkin merupakan kunci untuk membuka rahasia terdalam mereka.
Mimpi telah diinterpretasikan sejak zaman turunnya kitab suci, dan bahkan jauh sebelumnya. Mimpi sering dianggap sebagai suatu ramalan atau pengungkapan Ilahi. Namun, bagi Freud sang biolog evolusioner, mimpi adalah produk dari psike (psyche) individu. Ia melihat mimpi sebagai potongan petunjuk mengenai ketidaksadaran( Uncunscious), bagian dari pikiran yang tidak terjangkau oleh pikiran sadar (Freud, 1913).
2.      Struktur pikiran
Semua teori kepribadian menyepakati bahwa manusia, seperti binatang lain, dilahirkan dengan sejumlah insting dan motivasi. Insting yang paling dasar ialah tangisan. Anak yang baru lahir sebagai bentuk respon terhadap stimulasi yang menyakitkan dan akan menyusu sampai mereka terpuaskan. Ketika lahir, kekuatan motivasi dalam diri tentunya belum dipengaruhi oleh dunia luar. Kekuatan ini bersifat mendaasar dan individual. Freud menyebut ini kepribadian yang belum tercemar sebagai id. Id berisikan motivasi dan energi psikis dasar, yang sering disebut sebagai insting dan implus. Id bekerja berdasarkan tuntutan prinsip kesenangan (pleasure principle). Maksudnya, id bertujuan hanya untuk memuaskan hasratnya dan dengan itu mengurangi ketegangan dalam diri. Sebagai contoh, bayi terdorong untuk mengisap, mendapatkan kesenangan, dan bersantai. Kebutuhan untuk makan mengarahkannya untuk menghisap dan memperoleh kelegaan.
Namun, bahkan bayi sekalipun harus menghadapi kenyataan. Ada dunia nyata diluar sana – ibu yang kelelahan, popok yang kotor, ruang tidur yang dingin, hal-hal itu harus di respon. Struktur kepribadian yang berkembang untuk menghadapi dunia nyata disebut Freud sebagai ego, atau secara harfiah, “Aku”. Ego berjalan berdasarkan prinsip kenyataan (reality principle), ia harus memecahkan masalah-masalah yang nyata. Ia tidak akan mendapatkan payudara atau pelukan hanya dengan mengharapkannya. Seseorang harus membuat rencana dan melakukan tindakan yang dibatasi oleh dunia nyata. Itulah sebabnya bayi segera belajar untuk mengeraskan tangisan untuk memanggil ibu mereka.
Selama hidup, id yang mencari kesenangan terus-menerus berjuang melawan ego yang melihat kenyataan. Individu tidak pernah terlepas dari Id, namun kebanyakan orang dewasa menjaganya agar tetap terkontrol. Namun bebarapa orang secara salah (atau terlalu sering didominasi) oleh pencarian kesenangan, pemuasan menjadi aspek inti dari kepribadian mereka ketika mereka dewasa.
Masih terdapat masalah yang lain. Anak kecil tidak dapat dengan mudah mempelajari cara-cara realistis untuk memuaskan dorongan dalam diri. Kita tidak bisa benar-benar berpusat pada diri sendiri. Sebanarnya kita di paksa-paksa oleh orang tua dan masyarakat untuk mengikuti aturan-aturan moral. Struktruk kepribadian yang bertugas untuk menaati aturan – aturan bermasyarakat ini disebut sebagai superego. Freud memikirkannya sebagai “Di-Atas-Ku” karena ia mengatur ego atau “Aku” superego serupa dengan hati nurani, namun lebih dalam lagi. Kita dapat berfikir mengenai apa yang diperintahkan oleh hati nurani - serangkaian paduan etis dalam diri – namun sebagian superego tidak dapat kita sadari. Maksudnya, kita tidak selalu sadar akan dorongan moral dalam diri yang menekan dan membatasi tindakan kita.
Ketika ego dan dan terutama superego, tidak melakukan pekerjaan dengan baik, bagian-bagian dari Id dapat menyelinap keluar dan muncul ke permukaan. Lihatlah kasus seorang profesor anatomi yang dikutip oleh Freud, mengatakan “ Dalam kasus alat kelamin wanita, diluar godaan (the tempting), ma’af , maksud saya usaha (the attempted)....” Freud merasa bahwa penjelasan linguistik atas kesalahan semacam itu tidaklah cukup dan menganggap bahwa hal tersebut terjadi karna doringan-dorongan tidak sadar (Freud, 1924). Ini bukan masalah sekedar tutur kata, masalah ini terakait dengan terungkapnya motivasi yang lebih dalam. Kesalahan psikologis dalam tutur kata atau gaya tulisan semacam itu kemudian diebut Freudian slips. (secara teknis, kesalahan yang mengungkapkan ketidak sadaran disebut sebagai parapraxes). Untuk sesaat melupakan nama teman anda tidak di lihat melalui konteks teori pembelajaran melalui ingatan atau hanya sekedar disebabkan oleh kelelahan, namun lebih sebagai bukti adanya konflik tidak sadar dengan teman anda tersebut. Hal yang serupa juga terjadi jika seorang wanita muda memegang-megang dan memain-mainkan cincin tunangannya ketika sedang berbicara kepada seorang kenalan baru yang menarik, prilaku ini menandakan adanya kepedulian tidak sadar mengenai tunangannya.

C.                 Pendekatan – Pendekatan Psikoanalisis
Bentuk terapi yang memiliki pengaruh terbesar secara mendunia selama hampir satu abad ini berasal dari Vienna, Austria. Sementara para peneliti di Eropa dan Amerika bekerja di laboritium, berjuang menempatkan psikologi sebagai ilmu yang ilmiah, Sigmund Freud (1856-1939) seorang neurolog yang tidak dikenal, mendengarkan laporan pasien – pasiennya mengenai depresi, kecemasan dan sejumlah kebiasaan obsesif di dalam ruang kerjanya. Freud menjadi yakin bahwa banyak gejala pasiennya ternyata tidak diakbatkan oleh penyebab mental dan bukan penyebab fisik. Freud berkesimpulan bahwa penderitaan (distress), yang mereka alami, terkait dengan konflik dan trauma emosional yang terjadi di awal masa kanak-kanak dan hal itu terlalu menakutkan untuk diingat secara sadar, misalnya hasrat seksual yang terlarang terhadap orang tua.[17]
Teori psikoanalisis mengupas kepribadian dari suatu pandang yang sangat berbeda dengan kedua teori yang telah dibahas. Baik teori trait maupun teori belajar sosial memfokuskan diri pada kepribadian umum. Kedua teori itu terutama membahas perilaku. Sebaliknya, teori psikoanalisis menelaah kepribadian pribadi, motif – motif tak sadar yang mengarahkan perilaku. Teori psikoanalisis juga membahas perkembangan kepribadian. [18]
Teori Freud, yang diformulasi selama 50 tahun merawat orang yang mengalami gangguan emosional, terdiri dari 24 jilid. Yang terakhir, outline of psychoanalysis diterbitkan pada tahun 1940, setahun setelah kematiannya. Disini kami hanya dapat menyajikan garis besar yang paling sederhana mengenai teori kepribadian Freud.[19]
Freud membandingkan pikiran manusia dengan gunung es. Bagian kecil yang tampak di atas permukaan air menggambarkan pengalaman sadar; bagian yang lebih besar di bawah permukaan air menggambarkan ketidaksadaran gudang impuls, nafsu, ingatan yang tidak terjangkau, yang mempengaruhi pikiran dan perilaku kita. Bagian ketidaksadaran psike inilah yang berusaha diselidiki. Freud melalui teknik asosiasi bebas, yang menghendaki orang menyatakan hal – hal yang muncul dalam kesadarannya, tidak peduli apakah hal itu tampak memalukan atau tampak tidak ada artinya. Dengan menganalisis asosiasi bebas, termasuk ingatan tentang mimpi dan kenangan masa kanak – kanak awal, Freud berusaha membantu pasiennya menyadari hal-hal yang tidk disadari dan dengan cara demikian menemukan faktor penentu utama kepribadian.[20]



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pencetus teori-teori kepribadian (psikonalitik) adalah :
a. Sigmund Freud (1856-1939) dengan pemikirannya bahwa kepribadian manusia dibagi atas tiga unsur, yaitu id, ego, dan superego
b. Carl Gustaf Jung (1875-1961) dengan pemikiranya bahwa manusia pada dasarnya mewarisi keidaksadaran kolektif
c. Alfred Adler (1870-1937) dengan pemikiranya bahwa umat manusia terutama di motivasi oleh dorongan –dorongan masyarakat
2. Konsep – konsep dasar Psikoanalitik adalah :
a. Ketidaksadaran dan Teknik Terapi
b. Struktur pikiran
3. Pendekatan Psikoanalitik salah satunya menggunakan teknik asosiasi bebas yang termasuk di dalamnya adalah melalui mimpi
B.     Saran
1.      Bagi pembaca ,sebaiknya mampu menyaring dan mengambil intisari makalah ini agar dapat mengetahui mengenai para pencetus psikoanalitik serta pemikirannya.
2.      Bagi penulis, sebaiknya mampu menghadirkan makalah yang berbobot dan berkualitas agar pembaca bisa mengambil manfaat penulisan serta isi makalah ini dengan semaksimal mungkin .
3.      Bagi pembimbing, sebaiknya selalu mendampingi penulis dan pembaca agar mampu memahami isi makalah dengan sebaiknya, sehingga tidak terjadi kesalahan penafsiran ataupun pemahaman.


[1] Carole Wade, Carol Tavris, Psikologi ( ,Erlangga, 2007)h. 19
[2] Ivan Taniputera, Psikologi Kepribadian Psikologi Barat versus Buddhisme, (Jogjakarta : Ar – Ruzz, 2005)h. 44
[3]Mari Juniati, Rahmawati (ed)., Introduction To Psychology, ( : Erlangga, 1981)h. 144
[4] Ivan Taniputera, Psikologi Kepribadian Psikologi Barat versus Buddhisme.h.44-45
[5] Mari Juniati, Rahmawati (ed)., Introduction To Psychology. h.145
[6] Ivan Taniputera, Psikologi Kepribadian Psikologi Barat versus Buddhisme. h. 45-46
[7] Ibid.h. 46
[8] Mari Juniati, Rahmawati (ed)., Introduction To Psychology.h.146
[9] Ivan Taniputera, Psikologi Kepribadian Psikologi Barat versus Buddhisme.h. 47
[10] Mari Juniati, Rahmawati (ed)., Introduction To Psychology.h.150
[11] Ivan Taniputera, Psikologi Kepribadian Psikologi Barat versus Buddhisme.h. 47
[12] Ibid.h. 48
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid. h.49
[16] Howard S. Friedman, Mirriam W. Schustack, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern( :Erlangga, 2006)h.73
[17] Carole Wade, Carol Tavris, Psikologi ( ,Erlangga, 2007)h. 19
[18] Nurdjannah taufiq, Introduction To Psychology, ( , Erlangga, 1983)h.162
[19] Ibid. h.162
[20] Ibid. h.162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar