BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dewasa ini, permasalahan yang
terjadi pada setiap orang maupun kelompok sudah sangatlah kompleks. Begitu pula
dalam proses penangananya juga sangat beraneka ragam, baik lewat model
konseling maupun terapi. Dalam proses
konseling lebih identik dengan cara curhat atau bercerita panjang lebar mengenai
masalahnya. Sang pendengar setiapun lebih akrab dipanggil sebagai konselor. Hal
ini berbeda dengan model terapi, yang bertugas sebagai penerapi seringkali
disebut sebagai terapis.
Dua hal tesebut bukanlah keadaan
yang berbeda jauh, namun keduanya ini salinglah memiliki keterkaitan. Di mana
dalam proses konseling ini juga mencakup proses terapi sebagai salah satu
metode yang digunakan. Terapi lebih sering dikaitkan dengan suatu cara
pengobatan yang berkelanjutkan dan bukan berupa obat yang diberikan. Namun
lebih kepada pengobatan secara kognitif. Oleh karena itu, dalam makalah ini
Penulis akan membahas mengenai salah satu teknik terapi dalam konseling, dalam
makalah yang berjudul “Terapi Gestal”
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan terapi gestal?
2. Siapakah tokoh-tokoh terapi gestal?
3. Bagaimanakah perkembangan terapi gestal?
4. Bagaimanakah penerapan terapi gestal?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui
definisi terapi gestal
2.
Untuk
mengetahui tokoh-tokoh terapi gestal
3.
Untuk
mengetahui perkembangan terapi gestal
4.
Untuk
mengetahui penerapan terapi gestal
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Terapi
Gestal
Terapi Gestalt yang
dikembangkan oleh Federick Perl adalah suatu terapi eksistensial yang menekankan
kesadaran disini-dan-sekarang. Fokus utamanya adalah pada apa dan bagaimana-nya
tingkah laku dan pada peran urusan yang tak selesai dari masa lampau yang
menghambat kemampuan individu untuk bisa berfungsi secara efektif.
Konsep-konsep utamanya mencakup penerimaan tanggung jawab pribadi, hidup pada
saat sekarang, pengalaman langsung yang merupakan kebalikan dari membicarakan
pengalaman-pengalaman secara abstrak, penghindaran diri, urusan yang tidak
selesai, dan penembusan jalan buntu.
Dua hukum pokok Gestalt, yaitu:
1.
Pragnaz
(Jerman)/Piegnance (Inggris: menuju kepada kejelasan.
(clarity).
2.
Closure: mulai
dari totalitas (totality).
(Hukum
yang lain: kedekatan, persamaan, kontiguitas, gerakan bersama, simetris).
Hal yang penting dari psikologi
Gestalt ialah insight --- aha (erlebnis) – now – i see. (Ingat
cobaan Kohler dengan kerasi Sultannya).
Peletak dasar psikologi Gestalt
ialah Max Wertheimer sebagai usaha untuk memperbaiki prosese belajar dengan rote
learning dengan pengertian: bukan menghafal.[1]
Beberapa hukum Gestalt yang lain
meliputi, sebagai contoh, hukum keterdekatan (law of proximity), hukum
kesamaan (law of similarity), hukum penutupan (law of closure),
hukum simetri (law of symmetry), hukum kontinuitas (law of
continuity), dan hukum nasib bersama (law of comman fate).[2]
Praktek terapi gestal dapat
dijelaskan melalui empat karakteristiknya yaitu:
1.
Fokus pada
pengalaman yang muncul di sini dan kini (melalui bkesadaran, fenomenologi, dan
prinsip perubahan paradoks)
2.
Menciptakn dan
memberikan sebuah hubungan yangt dialogis
3.
Perspektif
teori medan dan pendekatan holistik
4.
Kreativitas,
sikap eksperimental untuk kehidupan dan proses terapi
Terapis
memiliki banyak teknis yang bisa digunakan, yang kesemuanya mempunyai satu
kesamaan, yaitu dirancang untuk mengintensifikasi tindakan mengalami langsung
dan untuk mengintegrasikan perasaan-perasaan yang berlawanan. Berikut adalah
ciri-ciri spesifik terapi Gestalt:
1.
Terapi Gestalt
adalah suatu pendekatan konfrontif dan aktif.
2.
Terapi Gestalt
menangani masa lampau dengan membawa aspek-aspek masa lampau yang relevan ke
saat sekarang.
3.
Terapi
Gestalt menggairahkan hubungan dan pengungkapan perasaan-perasaan langsung,
dan menghindari intelektualisasi abstrak tentang masalah-masalah klien.
4.
Terapi
Gestalt memberikan perhatian terhadap pesan-pesan non verbal dan
pesan-pesan tubuh.
5.
Terapi Gestalt
menolak mengakui ketidakberdayaan sebagai alasan untuktidak berubah.
6.
Terapi Gestalt
meletakkan penekanan pada klien untuk menemukan makna-maknanya sendiri dan
membuat penafsiran-penafsiran sendiri.
7.
Dalam waktu
yang sangat singkat, para klien bisa mengalami pearsaan-perasaannya sendiri
secara intens melalui sejumlah latihan Gestalt.
Sedangkan kekurangan-kekurangan dari terapi Gestalt adalah
sebagai berikut:
1.
Terapi Gestalt
tidak berlandaskan teori yang kukuh.
2.
Terapi Gestalt
cenderung antiintelektual dalam arti kurang memperhitungkan faktor-faktor
kognitif. Sebenarnya, baik fungsi perasaan maupun fungsi pemikiran, sangatlah
penting dalam terapi, dan melihat pada terapis Gestalt, terapi Gestalt
hanya menyisakan sedikit peluang bagi para klien untuk mengonseptualkan dan
memikirkan tindakan mengalaminya
3.
Secara
filosofis terdapat bahaya yang nyata dalam gaya hidup “aku mengerjakan urusanku
dan kamu mengerjakan urusanmu.” Terapi Gestalt (setidaknya sebagaimana
dijabarkan oleh Perls) menekankan tanggung jawab atas diri kita sendiri, tetapi
mengabaikan tanggung jawab kita kepada orang lain.
4.
Terdapat bahaya
yang nyata bahwa terapis yang menguasai teknik-teknik Gestalt akan
menggunakannya secara mekanis sehingga terapis sebagai pribadi tetap
tersembunyi.
5.
Terapi Gestalt
bisa menjadi berbahaya karena terapis memiliki kekuatan untuk memanipulasi
klien melalui teknik-teknik yang digunakannya. Terapis bisa menyalahgunakan
kekuasaannya, dan karenanya menghambat kemampuan klien untuk menjai otonom.
Para klien sering bereaksi negatif terhadap sejumlah teknik Gestalt
karena mengangggap dirinya dianggap tolol. Sudah sepantasnya terapis berpijak
pada kerangka yang layak sehingga teknik-teknik tidak tampak hanya sebagai
muslihat-muslihat.
B.
Tokoh-Tokoh
Terapi Gestal
Terapi dan konseling gestal tidak
bisa dilepaskan dari nama pendirinya yaitu Fritz Perls (1893-1970) yang
dipandang sebagai pribadi penuh semangat, kharismatik, mempunyai antusiasme
mengugah bagi orang-orang yang mendengarkannya.[3]
Namun sangat disayangkan, perjalanan hidupnya tak semulus kepribadiannya.
Ketika dia tengah serius dan antusias untuk mempersentasikan makalahnya di
hadapan Freud (pendiri psikoanalisa) dengan segala perjuangannya datang jauh
dari Afrika, mengenai ide-ide dan sumbangannya terhadap perbaikan psikoanalisa.
Di luar dugaan, ternyata Freud hanya
menanggapinya dengan sinis ”Baik, tetapi kapann Anda balik lagi?”. Dari
peristiwa inilah yang membuatnya terkenal seperti sat ini karena telah mengubah
seluruh pandangannya menjadi lebih kritis serta membawa pencerahan tersendiri Berikut ini akan Penulis uraikan mengenai beberapa tokoh Terapi Gestal yang turut serta
mengkontribusikan pemikirannya :[4]
1. Franz Brentano (1838-1917)
Franz Brentano adalah perintis dan
guru dari tokoh-tokoh psikologi Gestalt. Ia lahir di Marienberg, dekat Boppard
on Rhine 16 Januari 1838. Dan meninggal di Zurich pada tanggal 17 Maret 1917.
Pikiran-pikiran Brentano banyak kesamaan dengan pikiran-pikiran Aristoteles,
sehingga ia sering disebut sebagai Neo-Aristotelian. Ia tidak sependapat dengan
strukturalisme yang hendak menganalisa kesadaran dengan memecah-mecahnya ke
dalam elemen-elemen. Gejala kejiwaan harus dipandang sebagai totalitas. Ia
adalah pelopor aliran psikologi phenomenology, yaitu aliran psikologi yang
berusaha mempelajari jiwa sebagai phenomen dengan metode yang deskriptip.
Selanjutnya Brentano berpendapat
bahwa dasar dari segala tingkah laku kejiwaan (‘’ Psychic acts’’) adalah
persepsi dalam (‘’ Inner perception’’), yaitu persepsi yang tak terbatas pada
persepsi oleh indera-indera belaka. Ia membedakan antara aksi psikis (‘’Psychic
acts’’) dan isi non-psikis (‘’Non-psychic contents’’) dalam phenomena kejiwaan.
Sebuah kursi misalnya, adalah suatu ‘’ non-psychic contens.’’ Tetapi begitu
kursi itu bersentuhan dengan indera dan masuk ke persepsi dalam (‘’inner
perception’’), maka akan terjadilah aksi psikis.
2. Christian Von Ehrenfels (1859-1932)
Ia dilahirkan di Rodam (Austria)
pada tanggal 20 juni 1859 dan meninggal di Lichtenau (Austria) paada tanggal 8
September 1932. Ia mula-mula adalah seorang pendeta, tetapi kemudian menjadi
professor filsafat di Praha. Ialah yang meletakkan dasar-dasar dari aliran
psikologi Gestalt yang akan timbul kemudian.
3. Max Wertheimer (1880-1943)
Wertheimer dianggap sebagai pendiri
psikologi Gestalt pada tahun 1912, bersamaan dengan keluarnya kertas kerjanya
yang berjudul ‘’Experimental studies of the perception of movement.’’ Dalam
kertas kerjanya ini ia mengemukakan hasil eksperimennya dengan menggunakan alat
yang disebut Stroboskop (‘’Stroboscope’’), yaitu alat berbentuk kotak yang
diberi alat untuk melihat ke dalam kotak itu. Di dalam kotak terdapat gambar
dua buah garis, yang satu melintang dan yang lain tegak. Kedua gambar itu tidak
terlihat sekaligus, melainkan berganti-ganti.
Gejala ini disebut juga sebagai Phi-phenomenon dan dalam kehidupan
sehari-hari sering kita jumpai misalnya kalau kita menonton bioskop atau melihat
lampu-lampu reklame yang bergerak-gerak.
Menurut Wertheimer, gerak
stroboskopik ini tidak dapat diterngkan dengan teori strukturalisme dan
elementisme, tetapi hanya dapat diterangkan dengan teori Gestalt, yaitu bahwa
seseorang melihat lingkungannya secara menyeluruh.
Dalam bukunya ‘’Investigation of
Gestalt Theory’’ (1923), Wertheimer mengemukakan hukum-hukum Gestalt untuk
pertama kalinya, yaitu:
1.
Hukum kedekatan
(‘’Law of proximity’’): Hal-hal yang saling berdekatan dalam waktu atau tempat
cenderung dianggap sebagai suatu totalitas.
2.
Hukum ketertutupan
(‘’Law of closure’’): Hal-hal yang cenderung menutup akan membentuk kesan
totalitas tersendiri.
3.
Hukum kesamaan
(‘’Law of equivalence’’): Hal-hal yang mirip satu sama lain, cenderung kita
persepsikan sebagai suatu kelompok atau suatu totalitas.
Dalam buku itu Wertheimer mengatakan bahwa sebagai akibat dari
hukum-hukum Gestalt diatas, maka terjadilah kecenderungan persepsi spontan,
yaitu begitu mempersepsikan suatu gejala, maka akan diberi arti langsung
(‘’kundgabe’’) tanpa meneliti terlebih dahulu.
4. Kurt Koffka (1886-1941)
Sumbangan Koffka kepada psikologi
adalah penyajian yang sistematis dan pengamalan dari prinsip-prinsip Gestalt
dalam rangkaian gejala psikologi, dari mulai persepsi, belajar, mengingat,
sampai kepada psikologi belajar dan psikologi sosial.
Beberapa teori Koffka tentang
belajar :
1.
Salah satu
factor yang penting dalam belajar adalah jejak-jejak ingatan (‘’memory
traces’’), yaitu pengalaman-pengalaman yang membekas pada tempat-tempat
tertentu di otak. Jejak-jejak ingatan ini diorganisasikan secara sistematis
mengikuti prinsip-prinsip Gestalt dan akan dimunculkan kembali kalau kita
mempersepsikan sesuatu yang serupa dengan jejak-jejak ingatan tadi.
2.
Perubahan-perubahan
yang terjadi pada ingatan bersamaan dengan jalannya waktu tidak melemahkan
jejak-jejak ingatan itu (dengan perkataan lain tidak menyebabkan terjadinya
lupa), melainkan menyebabkan perubahan jejak, karena jejak ingatan itu
cenderung diperhalus dan disempurnakan untuk mendapat Gestalt yang lebih baik
dalam ingatan.
3.
Latihan-latihan
akan memperkuat jejak ingatan.
5. Wolfgang Kohler (1887-1967)
Karya Kohler yang paling terkenal
adalah penyelidikannya mengenai tingkahlaku kecerdasan (‘’Intelligent
behaviour’’) pada hewan, utamanya pada simpanse. Bertitik tolak dari teori
Thorndike yang beranggapan bahwa tingkahlaku hewan pada dasarnya adalah
tingkahlaku coba-salah (‘’trial and error’’), Kohler membuat
eksperimen-eksperimen dengan kera dan membuktikan bahwa pada kerapuan terdapat
pemahaman (‘’insight’’).
Percobaan lain yang dilakukan Kohler
adalah tentang diskriminasi visual pada ayam.
6. Kurt Lewin (1890-1947)
Mula-mula ia tertarik pada paham
Gestalt, tetapi kemudian ia mengkritik teori Gestalt karena dianggapnya tidak
adekwat. Lewin kurang setuju dengan cara pendekatan yang Aristotelian, yang
mementingkan struktur dan isi gejala-gejala kejiwaan. Ia lebih cenderung kepada
cara pendekatan yang Galilean, yaitu yang mementingkan fungsi kejiwaan.
Penelitian-penelitiannya membawa Lewin kepada suatu kesimpulan bahwa persepsi
dan tingkahlaku seseorang tidak hanya ditentukan oleh bentuk keseluruhan atau
sifat totalitas dari rangsang atau emergent, tetapi ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan (‘’forces’’) yang ada dalam lapangan psikologis (‘’psychological
field’’) seseorang.
Teori Lewin diatas disebut sebagai
teori lapangan (field theory’’) atau disebut juga sebagai topologi (geometri
non-metrik dari pada kekuatan-kekuatan dalam lapangan psikologis). Arah dari
tingkahlaku ditetapkan melalui hodologi, yaitu ilmu tentang arah tingkahlaku. Teori
Lewin disebut juga Psikodinamika.
Di samping teori-teorinya yang
murni, Lewin terkenal pula dengan karya-karyanya dalam pengamalan teori-teori
itu dalam berbagai bidang. Teori lapangannya digunakannya untuk menyelesaikan
masalah-masalah perkawinan, rekonstruksi manusia-manusia korban perang dan
menerangkan tingkahlaku kelompok. Kurt Lewin memang terkenal sebagai orang yang
pandai menggabungkan teori dengan praktek.
Salah satu teorinya yang bersifat
praktis yang penting dikemukakan adalah teori tentang konflik. Sebagai akibat
adanya vector-vector yang saling bertentangan dan tarik-menarik, maka seseorang
dalam suatu lapangan psikologis tertentu dapat mengalami konflik (pertentangan
batin) yang kalau tidak segera diselesaikan dapat mengakibatkan frustasi dan
ketidakseimbangan kejiwaan. Berdasarkan kepada vector-vector yang saling
bertentangan itu, Lewin membagi konflik dalam tiga jenis:
1.
Konflik
mendekat-mendekat (‘’Approach-approach conflict’’).
Konflik
ini terjadi kalau seseorang menghadapi dua obyek yang sama-sama bernilai
positif. Orang itu akan mengalami konflik, karena kalau ia mendekati salah satu
obyek, maka ia harus melepaskan yang lain yang akan menyebabakannya frustasi
karena tidak memperoleh obyek kedua tersebut. Misalnya, seorang ibu yang hanya
punya uang Rp.1.000,- melihat sebuah sepatu seharga Rp.1.000,- yang sangat
diperlukan anaknya, tetapi ia melihat pula sebuah kemeja seharga Rp.1.000,-
yang juga sangat diperlukan oleh suaminya. Kalau ia membeli sepatu, maka ia
tidak dapat membeli kemeja dan sebaliknya kalau ia membeli kemeja ia harus
melepaskan sepatunya. Dengan demikian ibu ini berada dalam situasi konflik.
2.
Konflik
menjauh-menjauh (‘’ Avoidance-avoidance conflict’’).
Konflik
ini terjadi kalau seseorang berhadapan dengan dua obyek yang sama-sama
mempunyai nilai negative tetapi ia tidak bisa menghindari kedua obyek yang kedua yang juga tidak disukainya dan
demikian pula sebaliknya. Misalnya, seorang anak lupa mengerjakan pekerjaan
rumahnya. Ia takut ke sekolah karena akan dimarahi guru. Sebaliknya ia takut
tinggal di rumah karena akan dimarahi ibu. Anak ini akan berada dalam situasi
konflik.
3.
Konflik
mendekat-menjauh (‘’Approach-avoidance conflict’’)
Dalam
konflik ini terdapat hanya satu obyek yang mempunyai nilai positif dan negative sekaligus.
Misalnya, seorang ingin sekali makan sambal kegemarannya, tetapi ia takut makan
sambal itu karena ia menderita sakit perut dan dilarang dokter makan sambal.
Orang ini berada situasi konflik antara mau makan sambal atau tidak.
7. F. Krueger
Pada tahun 1924, Krueger
memperkenalkan pada dunia psikologi istilah ‘’Ganzheit’’ di Leipzig. Ganzheit
berasal dari kata jerman ‘’das Ganze’’ yang berarti keseluruhan. Sampai
sekarang istilah Gestalt masih dianggap sama dengan Ganzheit, sehingga dalam
buku-buku dua istilah itu sering dicampur-adukkan saja. Aliran Ganzheit sering
tidak dianggap sebagai aliran tersendiri dan tokohnya, F. Krueger, sering kali
tidak dicatat dalam buku-buku sejarah psikologi.
Sekalipun demikian, Krueger sendiri
menyatakan bahwa Ganzheit tidak sama dengan Gestalt. Ganzheit terpisah dari
Gestalt dan merupakan perkembangan dari psikologi Gestalt. Krueger berpendapat
bahwa psikologi Gestalt terlalu menitik beratkan pada masalah persepsi obyek.
Padahal yang lebih penting menurut Krueger adalah penghayatan secara menyeluruh
terhadap ruang dan waktu, bukan hanya persepsi saja atau totalitas obyek-obyek
saja. Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa tingkahlaku harus diamati
secara holistic atau molar, yaitu suatu tingkahlaku harus dipandang dalam
hubungannya dengan tingkahlaku lain, baik yang terjadi sebelumnya, sesudahnya
atau pada saat yang bersamaan.
C.
Perkembangan
Terapi Gestal
Latar belakang timbulnya Ilmu Jiwa
Gestalt di pengaruhi oleh hal-hal berikut ini, yaitu :[5]
1.
Plato dan
Aristoteles yang telah menginsafi bahwa jumlah bagian-bagian, belum
sama
dengan keseluruhan yang merupakan suatu kebulatan.
2.
Guthe dan
Schiller , yang selalu menggunakan istilah gestalt, pada suatu keutuhan yang
bulat.
3.
Orang tidak
puas lagi dengan ilmu jiwa asosiasi, sebab gejala jiwa hanya diterangkan
sebagai kumpulan dari tanggapan-tanggapan yang berkumpulnya hanya berlangsung
automatis mekanis, menurut hukum-hukum asosiasi.
4.
Wundt,
berpendapat bahwa di atas unsur-unsur yang terdapat pula gejala-gejala
kejiwaan, dengan asas schopferi schesyntheses (hubungan yang menciptakan)
artinya tiap-tiap gejala jiwa, tersusun lebih dari pada jumlah bagian-bagiannya
dan mempunyai ciri umum yang tak terdapat pada bagian-bagian itu
Berikut ini merupakan masa-masa
peralihan dari ilmu jiwa asosiasi ke ilmu jiwa gestalt, dan dapat kita lukiskan
melalui 4 fase sebagai berikut :[6]
1.
Ilmu jiwa
Herbart yang terlalu bersifat automatis mekanis tadi.
2.
Ilmu jiwa
asosiasi yang agak modern, ialah ilmu jiwa yang otomistis, dari john Stuart
Mill. Yang berpendapat bahwa dalam proses kejiwaan terjadi apa yang disebut
Mental Chemistry, yaitu apabila terjadi gabungan dari beberapa tanggapan, maka
sifat yang terdapat pada masing-masing anggapan, dan timbullah sesuatu hal yang
baru, yang sama sekali lain sifatnya dari tiap-tiap anggapan itu tadi.
3.
Teori ilmu jiwa
Wundt, tentang Schopferischesynthese, seperti yang tersebut diatas.
4.
Yang
mempelopori ilmu jiwa gestalt ialah Ch. V. Enrenfels, yang mengadakan
penyelidikan dalam hal pengamatan, yang kemudian menyimpulkan bahwa :
a.
Kebulatan
adalah lebih mengandung arti dari pada jumlah bagian-bagian.
b.
Kebulatan
selalu timbul dahulu dari pada bagian-bagian.
D.
Penerapan
Terapi Gestal
Terapi Gestalt difokuskan
pada perasaan-perasaan klien, kesadaran atas saat sekarang, pesan-pesan tubuh,
dan penghambat-penghambat kesadaran. Ajaran Perls adalah “kosongkan pikiran
anda dan capailah kesadaran”.
Tugas terapis adalah membantu klien
dalam melaksanakan peralihan dan dukungan ekternal kepada dukungan internal
dengan menentukan letak jalan buntu. Jalan buntu adalah titik tempat individu
menghindari mengalami perasaan-perasaan yang mengancam karena dia merasa tidak
nyaman.
Perls (1969a, hlm. 36) mengemukakan
bahwa cara untuk menghindari manipulasi yang mungkin dilakukan klien adalah
membiarkan klien menemukan sendiri potensi-potensinya yang hilang. Klien
menggunakan terapis sebagai “layar proyeksi” dan memandang terapis sebagai
pemberi apa-apa yang hilang pada dirinya.
Satu fungsi yang penting dari terapi
Gestalt adalah memberikan perhatian pada bahasa tubuh kliennya.
Isyarat-isyarat nonverbal dari klien menghasilkan inforasi yang kaya bagi
terapis, sebab isyarat-isyarat itu sering “mengkhianati” perasaan-perasaan
klien, yang klien sendiri tidak menyadarinya.
Perls (1969a, hlm. 54) mengatakan
bahwa postur, gerakan-gerakan, mimik muka, keraguan dan sebagainya, dapat
menceritakan kisah yang sesungguhnya. Ia mengingatkan bahwa komunikasi verbal
sering mengandung kebohongan dan bahwa jika terapis terpusat pada isi, maka dia
kehilangan esensi pribadi klien. Komunikasi yang nyata ada di seberang
kata-kata. “Bunyi menceritakan segalanya kepada anda. Segenap hal yang orang
ingin mengungkapkannya ada disana bukan di dalam kata-kata. Apa yang kita
katakan hampir semuanya bohong. Akan tetapi suara yang ada disana, gerak
tangan, postur, mimik muka, bahasa psikomatik”.
Terapi Gestalt memiliki
beberapa sasaran penting yang berbeda. Sasaran dasarnya adalah menantang klien
agar berpindah dari “didukung oleh lingkungan” kepada “didukung oleh diri
sendiri”.[7]
Menurut Perls (1969a, hlm. 29) sasaran terapi adalah menjadikan pasien tidak
bergantungan pada orang lain, menjadikan pasien menemukan sejak awal bahwa dia
bisa melakukan banyak hal, lebih banyak daripada yang dikiranya”.[8]
Levitsky dan Perls (1970, hlm.
144-149) menyajikan suatu uraian ringkas tentang sejumlah permainan yang bisa
digunakan dalam terapi Gestalt, yang mencakup:[9]
1.
Permainan-Permainan
Dialog
2.
Membuat
lingkaran
3.
Urusan yang tak
selesai,
4.
“Saya memikul
tanggung jawab”,
5.
“Saya memiliki
suatu rahasia”,
6.
Bermain
proyeksi
7.
Pembalikan
8.
Irama kontak
dan penarikan
9.
“Ulangan”
10.
“Melebih-lebihkan”
11.
“Bolehkah saya memberimu sebuah kalimat?”
12.
Permainan-permainan
konseling perkawinan, dan
13.
“Bisakah anda
tetap dengan perasaan ini?
Penerapan dalam Terapi Individual
dan Kelompok
Terapi gestal bisa diterapkan dalam
berbagai cara , baik dalam kondisi individu maupun kelompok. Dalam konseling,
terapi gestal bisa diterapkan dalam gaya gestal terbatas di mana interaksi
klien dengan terapis berskala minimal. Klien menerjemahkan pengalaman segeranya
ke dalam situasi permainan peran di mana klien mempersonifikasikan segenap
aspek kesadarannya. Dalam bentuknya yang murni ini, reaksi-reaksi klien
terhadap terapis menjadi bagian dari proyeksi-proyeksi fantasi klien.
Selain itu, terapi individual bisa
juga dilaksanakan dalam bentuk yang kurang murni, yang ditandai oleh dialog
antara klien dengan terapis. Terapis juga bisa menyarankan percobaan-percobaan guna
membantu klien dalam memperoleh fokus yang lebih tajam kepada apa yamhg
dilakukannya sekarang. Akan tetapi, terapis juga membawa reaksi-reaksinya ke
dalam dialog, dan karenanya dia lebih dari sekedar pengarah terapi individual.
Polster dan Polster (1973) dan Kempler(1973), yang merupakan tokoh-tokoh utama
dalam terapi gestal mengimbau terapis agar aktif, membuka diri, dan melibatkan
pendekatan yang manusiawi.
Tidak jauh berbeda dengan terapi
individual, terapi kelompok juga bisa dipraktekkan dalam konteks gestal, tetapi
kurang murni. Para anggota kelompok memiliki kebebasan lebih besar untuk
berinteraksi secara spontan, dan terapis bisa merangsang interaksi antar
anggota. Variabel ya ng penting adalah menetapkan apakah intervensi akan
membantu ataukah mengacaukan.[10]
Faktor-faktor yang berhubungan
dengan penerapan yang pantas dan teknik-teknik terapi gestal adalah:[11]
1. Waktu
2. Jenis klien yang ditangani
3. Setting yang dihadapi
Penerapan di Sekolah: Proses Belajar-Mengajar
Metodelogi Gestal ini juga bisa
diaplikasikan untuk mengatasi anak-anak maupun remaja di lingkungan sekolah. Lederman
mengintegrasikan konsep-konsep terapi gestal dalam mengonfrontasikan anak-anak
dengan cara-cara mereka menghindari pengguaan kekuatan pribadinya, dan ia
menuntut, berdasarkan kepribadiannya sendiri dan hubungannya yang
sungguh-sungguh dengan anak-anak, agar anak-anak itu menerima tanggung jawab
atas apa yang dilakukan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Lederman bahwa,
para siswa tidak akan mempelajari pelajaran sebelum mereka menangani secara
efektif kekacauan emosi yang menghambat konsentrasi pada tugas-tugas belajar.
Brown (1971) telah memperlihatkan
suatu cara penerapan pendekatan gestal pada situasi belajar-mengajar yang
menghasilkan perubahan-perubahan tingkah laku yang positif pada para siswa dan
menunjukkan bahwa penerapan terapi gestal itu tidak hanya membuat para siswa
menjadi lebih baik, tetapi juga membantu mereka dalam memperluas hubungan antar
manusianya.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Terapi Gestalt adalah suatu
terapi eksistensial yang menekankan kesadaran disini-dan-sekarang yang fokus
utamanya ada pada apa dan bagaimana-nya tingkah laku serta peran
urusan yang tak selesai dari masa lampau yang menghambat kemampuan individu
untuk bisa berfungsi secara efektif. Berikut ini adalah tokoh-tokoh terapi
gestal Franz Brentano (1838-1917),
Christian Von Ehrenfels (1859-1932), Max Wertheimer (1880-1943), Kurt Koffka
(1886-1941), Wolfgang Kohler (1887-1967), Kurt Lewin (1890-1947), Fritz
Perls (1893-1970) dan F. Krueger
Latar belakang timbulnya Ilmu Jiwa
Gestalt di pengaruhi oleh hal-hal berikut ini, yaitu : Plato dan Aristoteles
yang telah menginsafi bahwa jumlah bagian-bagian, belum sama dengan keseluruhan
yang merupakan suatu kebulatan, Guthe dan Schiller , yang selalu menggunakan
istilah gestalt, pada suatu keutuhan yang bulat, Wundt, berpendapat bahwa di
atas unsur-unsur yang terdapat pula gejala-gejala kejiwaan, dengan asas
schopferi schesyntheses (hubungan yang menciptakan).
Terapi gestal bisa diterapkan dalam
berbagai cara , baik dalam kondisi individu maupun kelompok. Dalam konseling,
terapi gestal bisa diterapkan dalam gaya gestal terbatas di mana interaksi
klien dengan terapis berskala minimal.Terapi kelompok juga bisa dipraktekkan
dalam konteks gestal, tetapi kurang murni. Para anggota kelompok memiliki
kebebasan lebih besar untuk berinteraksi secara spontan, dan terapis bisa
merangsang interaksi antar anggota.
[1]Wasty Soemanto,
Psikologi Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta 1998.h.224
[2]Robert L.Solso,
Psikologi Kognisi Edisi Kedelapan, Jakarta : Erlangga 2007.h.126
[3] Triantoro
safaria, Terapi & Konseling Gestalt, Yogyakarta : Graha Ilmu 2005.h.
1
[4]Sarlito Wirawan
Sarwono, Berkenalan Dengan Aliran-Aliran Dan Tokoh-Tokoh Psikologi,
Jakarta : Bulan Bintang 1979. h. 151
[5]Agus
Sujanto, Psikologi Umum, Jakarta :
Bumi Aksara 1993. h.165
[6]Agus Sujanto, Psikologi Umum.h.165-166
[7]Gerald
Corey., Teori dan Praktek konseling dan Psikoterapi, PT. Refika Aditama,
Bandung, 2005.h.123
[8]Ibid.
[9]Gerald Corey., Teori
dan Praktek konseling dan Psikoterapi. h.132-133
Tidak ada komentar:
Posting Komentar