Jumat, 06 Desember 2013

Terapi Gestal


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dewasa ini, permasalahan yang terjadi pada setiap orang maupun kelompok sudah sangatlah kompleks. Begitu pula dalam proses penangananya juga sangat beraneka ragam, baik lewat model konseling maupun terapi. Dalam  proses konseling lebih identik dengan cara curhat atau bercerita panjang lebar mengenai masalahnya. Sang pendengar setiapun lebih akrab dipanggil sebagai konselor. Hal ini berbeda dengan model terapi, yang bertugas sebagai penerapi seringkali disebut sebagai terapis.
Dua hal tesebut bukanlah keadaan yang berbeda jauh, namun keduanya ini salinglah memiliki keterkaitan. Di mana dalam proses konseling ini juga mencakup proses terapi sebagai salah satu metode yang digunakan. Terapi lebih sering dikaitkan dengan suatu cara pengobatan yang berkelanjutkan dan bukan berupa obat yang diberikan. Namun lebih kepada pengobatan secara kognitif. Oleh karena itu, dalam makalah ini Penulis akan membahas mengenai salah satu teknik terapi dalam konseling, dalam makalah yang berjudul “Terapi Gestal”
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan terapi gestal?
2.      Siapakah tokoh-tokoh terapi gestal?
3.      Bagaimanakah perkembangan terapi gestal?
4.      Bagaimanakah penerapan terapi gestal?
C.    Tujuan
1.        Untuk mengetahui definisi terapi gestal
2.        Untuk mengetahui tokoh-tokoh terapi gestal
3.        Untuk mengetahui perkembangan terapi gestal
4.        Untuk mengetahui penerapan terapi gestal
                                                                                              

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Terapi Gestal
Terapi Gestalt yang dikembangkan oleh Federick Perl adalah suatu terapi eksistensial yang menekankan kesadaran disini-dan-sekarang. Fokus utamanya adalah pada apa dan bagaimana-nya tingkah laku dan pada peran urusan yang tak selesai dari masa lampau yang menghambat kemampuan individu untuk bisa berfungsi secara efektif. Konsep-konsep utamanya mencakup penerimaan tanggung jawab pribadi, hidup pada saat sekarang, pengalaman langsung yang merupakan kebalikan dari membicarakan pengalaman-pengalaman secara abstrak, penghindaran diri, urusan yang tidak selesai, dan penembusan jalan buntu.
Dua hukum pokok Gestalt, yaitu:
1.      Pragnaz (Jerman)/Piegnance (Inggris: menuju kepada kejelasan.
(clarity).
2.      Closure: mulai dari totalitas (totality).
(Hukum yang lain: kedekatan, persamaan, kontiguitas, gerakan bersama, simetris).
Hal yang penting dari psikologi Gestalt ialah insight --- aha (erlebnis) – now – i see. (Ingat cobaan Kohler dengan kerasi Sultannya).
Peletak dasar psikologi Gestalt ialah Max Wertheimer sebagai usaha untuk memperbaiki prosese belajar dengan rote learning dengan pengertian: bukan menghafal.[1]
Beberapa hukum Gestalt yang lain meliputi, sebagai contoh, hukum keterdekatan (law of proximity), hukum kesamaan (law of similarity), hukum penutupan (law of closure), hukum simetri (law of symmetry), hukum kontinuitas (law of continuity), dan hukum nasib bersama (law of comman fate).[2]
Praktek terapi gestal dapat dijelaskan melalui empat karakteristiknya yaitu:
1.         Fokus pada pengalaman yang muncul di sini dan kini (melalui bkesadaran, fenomenologi, dan prinsip perubahan paradoks)
2.         Menciptakn dan memberikan sebuah hubungan yangt dialogis
3.         Perspektif teori medan dan pendekatan holistik
4.         Kreativitas, sikap eksperimental untuk kehidupan dan proses terapi
Terapis memiliki banyak teknis yang bisa digunakan, yang kesemuanya mempunyai satu kesamaan, yaitu dirancang untuk mengintensifikasi tindakan mengalami langsung dan untuk mengintegrasikan perasaan-perasaan yang berlawanan. Berikut adalah ciri-ciri spesifik terapi Gestalt:
1.      Terapi Gestalt adalah suatu pendekatan konfrontif dan aktif.
2.      Terapi Gestalt menangani masa lampau dengan membawa aspek-aspek masa lampau yang relevan ke saat sekarang.
3.      Terapi Gestalt menggairahkan hubungan dan pengungkapan perasaan-perasaan langsung, dan menghindari intelektualisasi abstrak tentang masalah-masalah klien.
4.      Terapi Gestalt memberikan perhatian terhadap pesan-pesan non verbal dan pesan-pesan tubuh.
5.      Terapi Gestalt menolak mengakui ketidakberdayaan sebagai alasan untuktidak berubah.
6.      Terapi Gestalt meletakkan penekanan pada klien untuk menemukan makna-maknanya sendiri dan membuat penafsiran-penafsiran sendiri.
7.      Dalam waktu yang sangat singkat, para klien bisa mengalami pearsaan-perasaannya sendiri secara intens melalui sejumlah latihan Gestalt.
Sedangkan kekurangan-kekurangan dari terapi Gestalt adalah sebagai berikut:
1.      Terapi Gestalt tidak berlandaskan teori yang kukuh.
2.      Terapi Gestalt cenderung antiintelektual dalam arti kurang memperhitungkan faktor-faktor kognitif. Sebenarnya, baik fungsi perasaan maupun fungsi pemikiran, sangatlah penting dalam terapi, dan melihat pada terapis Gestalt, terapi Gestalt hanya menyisakan sedikit peluang bagi para klien untuk mengonseptualkan dan memikirkan tindakan mengalaminya
3.      Secara filosofis terdapat bahaya yang nyata dalam gaya hidup “aku mengerjakan urusanku dan kamu mengerjakan urusanmu.” Terapi Gestalt (setidaknya sebagaimana dijabarkan oleh Perls) menekankan tanggung jawab atas diri kita sendiri, tetapi mengabaikan tanggung jawab kita kepada orang lain.
4.      Terdapat bahaya yang nyata bahwa terapis yang menguasai teknik-teknik Gestalt akan menggunakannya secara mekanis sehingga terapis sebagai pribadi tetap tersembunyi.
5.      Terapi Gestalt bisa menjadi berbahaya karena terapis memiliki kekuatan untuk memanipulasi klien melalui teknik-teknik yang digunakannya. Terapis bisa menyalahgunakan kekuasaannya, dan karenanya menghambat kemampuan klien untuk menjai otonom.
Para klien sering bereaksi negatif terhadap sejumlah teknik Gestalt karena mengangggap dirinya dianggap tolol. Sudah sepantasnya terapis berpijak pada kerangka yang layak sehingga teknik-teknik tidak tampak hanya sebagai muslihat-muslihat.
B.     Tokoh-Tokoh Terapi Gestal
Terapi dan konseling gestal tidak bisa dilepaskan dari nama pendirinya yaitu Fritz Perls (1893-1970) yang dipandang sebagai pribadi penuh semangat, kharismatik, mempunyai antusiasme mengugah bagi orang-orang yang mendengarkannya.[3] Namun sangat disayangkan, perjalanan hidupnya tak semulus kepribadiannya. Ketika dia tengah serius dan antusias untuk mempersentasikan makalahnya di hadapan Freud (pendiri psikoanalisa) dengan segala perjuangannya datang jauh dari Afrika, mengenai ide-ide dan sumbangannya terhadap perbaikan psikoanalisa.
Di luar dugaan, ternyata Freud hanya menanggapinya dengan sinis ”Baik, tetapi kapann Anda balik lagi?”. Dari peristiwa inilah yang membuatnya terkenal seperti sat ini karena telah mengubah seluruh pandangannya menjadi lebih kritis serta membawa pencerahan tersendiri  Berikut ini akan Penulis uraikan mengenai  beberapa tokoh Terapi Gestal yang turut serta mengkontribusikan pemikirannya :[4]
1.      Franz Brentano (1838-1917)
Franz Brentano adalah perintis dan guru dari tokoh-tokoh psikologi Gestalt. Ia lahir di Marienberg, dekat Boppard on Rhine 16 Januari 1838. Dan meninggal di Zurich pada tanggal 17 Maret 1917. Pikiran-pikiran Brentano banyak kesamaan dengan pikiran-pikiran Aristoteles, sehingga ia sering disebut sebagai Neo-Aristotelian. Ia tidak sependapat dengan strukturalisme yang hendak menganalisa kesadaran dengan memecah-mecahnya ke dalam elemen-elemen. Gejala kejiwaan harus dipandang sebagai totalitas. Ia adalah pelopor aliran psikologi phenomenology, yaitu aliran psikologi yang berusaha mempelajari jiwa sebagai phenomen dengan metode yang deskriptip.
Selanjutnya Brentano berpendapat bahwa dasar dari segala tingkah laku kejiwaan (‘’ Psychic acts’’) adalah persepsi dalam (‘’ Inner perception’’), yaitu persepsi yang tak terbatas pada persepsi oleh indera-indera belaka. Ia membedakan antara aksi psikis (‘’Psychic acts’’) dan isi non-psikis (‘’Non-psychic contents’’) dalam phenomena kejiwaan. Sebuah kursi misalnya, adalah suatu ‘’ non-psychic contens.’’ Tetapi begitu kursi itu bersentuhan dengan indera dan masuk ke persepsi dalam (‘’inner perception’’), maka akan terjadilah aksi psikis.

2.      Christian Von Ehrenfels (1859-1932)
Ia dilahirkan di Rodam (Austria) pada tanggal 20 juni 1859 dan meninggal di Lichtenau (Austria) paada tanggal 8 September 1932. Ia mula-mula adalah seorang pendeta, tetapi kemudian menjadi professor filsafat di Praha.  Ialah  yang meletakkan dasar-dasar dari aliran psikologi Gestalt yang akan timbul kemudian.

3.      Max Wertheimer (1880-1943)
Wertheimer dianggap sebagai pendiri psikologi Gestalt pada tahun 1912, bersamaan dengan keluarnya kertas kerjanya yang berjudul ‘’Experimental studies of the perception of movement.’’ Dalam kertas kerjanya ini ia mengemukakan hasil eksperimennya dengan menggunakan alat yang disebut Stroboskop (‘’Stroboscope’’), yaitu alat berbentuk kotak yang diberi alat untuk melihat ke dalam kotak itu. Di dalam kotak terdapat gambar dua buah garis, yang satu melintang dan yang lain tegak. Kedua gambar itu tidak terlihat sekaligus, melainkan berganti-ganti.  Gejala ini disebut juga sebagai Phi-phenomenon dan dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai misalnya kalau kita menonton bioskop atau melihat lampu-lampu reklame yang bergerak-gerak.
Menurut Wertheimer, gerak stroboskopik ini tidak dapat diterngkan dengan teori strukturalisme dan elementisme, tetapi hanya dapat diterangkan dengan teori Gestalt, yaitu bahwa seseorang melihat lingkungannya secara menyeluruh.
Dalam bukunya ‘’Investigation of Gestalt Theory’’ (1923), Wertheimer mengemukakan hukum-hukum Gestalt untuk pertama kalinya, yaitu:
1.      Hukum kedekatan (‘’Law of proximity’’): Hal-hal yang saling berdekatan dalam waktu atau tempat cenderung dianggap sebagai suatu totalitas.
2.      Hukum ketertutupan (‘’Law of closure’’): Hal-hal yang cenderung menutup akan membentuk kesan totalitas tersendiri.
3.      Hukum kesamaan (‘’Law of equivalence’’): Hal-hal yang mirip satu sama lain, cenderung kita persepsikan sebagai suatu kelompok atau suatu totalitas.
Dalam buku itu Wertheimer mengatakan bahwa sebagai akibat dari hukum-hukum Gestalt diatas, maka terjadilah kecenderungan persepsi spontan, yaitu begitu mempersepsikan suatu gejala, maka akan diberi arti langsung (‘’kundgabe’’) tanpa meneliti terlebih dahulu.
4.      Kurt Koffka (1886-1941)
Sumbangan Koffka kepada psikologi adalah penyajian yang sistematis dan pengamalan dari prinsip-prinsip Gestalt dalam rangkaian gejala psikologi, dari mulai persepsi, belajar, mengingat, sampai kepada psikologi belajar dan psikologi sosial.
Beberapa teori Koffka tentang belajar :
1.      Salah satu factor yang penting dalam belajar adalah jejak-jejak ingatan (‘’memory traces’’), yaitu pengalaman-pengalaman yang membekas pada tempat-tempat tertentu di otak. Jejak-jejak ingatan ini diorganisasikan secara sistematis mengikuti prinsip-prinsip Gestalt dan akan dimunculkan kembali kalau kita mempersepsikan sesuatu yang serupa dengan jejak-jejak ingatan tadi.
2.      Perubahan-perubahan yang terjadi pada ingatan bersamaan dengan jalannya waktu tidak melemahkan jejak-jejak ingatan itu (dengan perkataan lain tidak menyebabkan terjadinya lupa), melainkan menyebabkan perubahan jejak, karena jejak ingatan itu cenderung diperhalus dan disempurnakan untuk mendapat Gestalt yang lebih baik dalam ingatan.
3.      Latihan-latihan akan memperkuat jejak ingatan.
5.      Wolfgang Kohler (1887-1967)
Karya Kohler yang paling terkenal adalah penyelidikannya mengenai tingkahlaku kecerdasan (‘’Intelligent behaviour’’) pada hewan, utamanya pada simpanse. Bertitik tolak dari teori Thorndike yang beranggapan bahwa tingkahlaku hewan pada dasarnya adalah tingkahlaku coba-salah (‘’trial and error’’), Kohler membuat eksperimen-eksperimen dengan kera dan membuktikan bahwa pada kerapuan terdapat pemahaman (‘’insight’’).
Percobaan lain yang dilakukan Kohler adalah tentang diskriminasi visual pada ayam.

6.      Kurt Lewin (1890-1947)
Mula-mula ia tertarik pada paham Gestalt, tetapi kemudian ia mengkritik teori Gestalt karena dianggapnya tidak adekwat. Lewin kurang setuju dengan cara pendekatan yang Aristotelian, yang mementingkan struktur dan isi gejala-gejala kejiwaan. Ia lebih cenderung kepada cara pendekatan yang Galilean, yaitu yang mementingkan fungsi kejiwaan. Penelitian-penelitiannya membawa Lewin kepada suatu kesimpulan bahwa persepsi dan tingkahlaku seseorang tidak hanya ditentukan oleh bentuk keseluruhan atau sifat totalitas dari rangsang atau emergent, tetapi ditentukan oleh kekuatan-kekuatan (‘’forces’’) yang ada dalam lapangan psikologis (‘’psychological field’’) seseorang.
Teori Lewin diatas disebut sebagai teori lapangan (field theory’’) atau disebut juga sebagai topologi (geometri non-metrik dari pada kekuatan-kekuatan dalam lapangan psikologis). Arah dari tingkahlaku ditetapkan melalui hodologi, yaitu ilmu tentang arah tingkahlaku. Teori Lewin disebut juga Psikodinamika.
Di samping teori-teorinya yang murni, Lewin terkenal pula dengan karya-karyanya dalam pengamalan teori-teori itu dalam berbagai bidang. Teori lapangannya digunakannya untuk menyelesaikan masalah-masalah perkawinan, rekonstruksi manusia-manusia korban perang dan menerangkan tingkahlaku kelompok. Kurt Lewin memang terkenal sebagai orang yang pandai menggabungkan teori dengan praktek.
Salah satu teorinya yang bersifat praktis yang penting dikemukakan adalah teori tentang konflik. Sebagai akibat adanya vector-vector yang saling bertentangan dan tarik-menarik, maka seseorang dalam suatu lapangan psikologis tertentu dapat mengalami konflik (pertentangan batin) yang kalau tidak segera diselesaikan dapat mengakibatkan frustasi dan ketidakseimbangan kejiwaan. Berdasarkan kepada vector-vector yang saling bertentangan itu, Lewin membagi konflik dalam tiga jenis:
1.      Konflik mendekat-mendekat (‘’Approach-approach conflict’’).
Konflik ini terjadi kalau seseorang menghadapi dua obyek yang sama-sama bernilai positif. Orang itu akan mengalami konflik, karena kalau ia mendekati salah satu obyek, maka ia harus melepaskan yang lain yang akan menyebabakannya frustasi karena tidak memperoleh obyek kedua tersebut. Misalnya, seorang ibu yang hanya punya uang Rp.1.000,- melihat sebuah sepatu seharga Rp.1.000,- yang sangat diperlukan anaknya, tetapi ia melihat pula sebuah kemeja seharga Rp.1.000,- yang juga sangat diperlukan oleh suaminya. Kalau ia membeli sepatu, maka ia tidak dapat membeli kemeja dan sebaliknya kalau ia membeli kemeja ia harus melepaskan sepatunya. Dengan demikian ibu ini berada dalam situasi konflik.

2.      Konflik menjauh-menjauh (‘’ Avoidance-avoidance conflict’’).
Konflik ini terjadi kalau seseorang berhadapan dengan dua obyek yang sama-sama mempunyai nilai negative tetapi ia tidak bisa menghindari kedua obyek  yang kedua yang juga tidak disukainya dan demikian pula sebaliknya. Misalnya, seorang anak lupa mengerjakan pekerjaan rumahnya. Ia takut ke sekolah karena akan dimarahi guru. Sebaliknya ia takut tinggal di rumah karena akan dimarahi ibu. Anak ini akan berada dalam situasi konflik.
3.      Konflik mendekat-menjauh (‘’Approach-avoidance conflict’’)
Dalam konflik ini terdapat hanya satu obyek yang mempunyai  nilai positif dan negative sekaligus. Misalnya, seorang ingin sekali makan sambal kegemarannya, tetapi ia takut makan sambal itu karena ia menderita sakit perut dan dilarang dokter makan sambal. Orang ini berada situasi konflik antara mau makan sambal atau tidak.

7.      F. Krueger
Pada tahun 1924, Krueger memperkenalkan pada dunia psikologi istilah ‘’Ganzheit’’ di Leipzig. Ganzheit berasal dari kata jerman ‘’das Ganze’’ yang berarti keseluruhan. Sampai sekarang istilah Gestalt masih dianggap sama dengan Ganzheit, sehingga dalam buku-buku dua istilah itu sering dicampur-adukkan saja. Aliran Ganzheit sering tidak dianggap sebagai aliran tersendiri dan tokohnya, F. Krueger, sering kali tidak dicatat dalam buku-buku sejarah psikologi.
Sekalipun demikian, Krueger sendiri menyatakan bahwa Ganzheit tidak sama dengan Gestalt. Ganzheit terpisah dari Gestalt dan merupakan perkembangan dari psikologi Gestalt. Krueger berpendapat bahwa psikologi Gestalt terlalu menitik beratkan pada masalah persepsi obyek. Padahal yang lebih penting menurut Krueger adalah penghayatan secara menyeluruh terhadap ruang dan waktu, bukan hanya persepsi saja atau totalitas obyek-obyek saja. Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa tingkahlaku harus diamati secara holistic atau molar, yaitu suatu tingkahlaku harus dipandang dalam hubungannya dengan tingkahlaku lain, baik yang terjadi sebelumnya, sesudahnya atau pada saat yang bersamaan.

C.    Perkembangan Terapi Gestal
Latar belakang timbulnya Ilmu Jiwa Gestalt di pengaruhi oleh hal-hal berikut ini, yaitu :[5]
1.      Plato dan Aristoteles yang telah menginsafi bahwa jumlah bagian-bagian, belum 
sama dengan keseluruhan yang merupakan suatu kebulatan.
2.      Guthe dan Schiller , yang selalu menggunakan istilah gestalt, pada suatu keutuhan yang bulat.
3.      Orang tidak puas lagi dengan ilmu jiwa asosiasi, sebab gejala jiwa hanya diterangkan sebagai kumpulan dari tanggapan-tanggapan yang berkumpulnya hanya berlangsung automatis mekanis, menurut hukum-hukum asosiasi.
4.      Wundt, berpendapat bahwa di atas unsur-unsur yang terdapat pula gejala-gejala kejiwaan, dengan asas schopferi schesyntheses (hubungan yang menciptakan) artinya tiap-tiap gejala jiwa, tersusun lebih dari pada jumlah bagian-bagiannya dan mempunyai ciri umum yang tak terdapat pada bagian-bagian itu
Berikut ini merupakan masa-masa peralihan dari ilmu jiwa asosiasi ke ilmu jiwa gestalt, dan dapat kita lukiskan melalui 4 fase sebagai berikut :[6]
1.      Ilmu jiwa Herbart yang terlalu bersifat automatis mekanis tadi.
2.      Ilmu jiwa asosiasi yang agak modern, ialah ilmu jiwa yang otomistis, dari john Stuart Mill. Yang berpendapat bahwa dalam proses kejiwaan terjadi apa yang disebut Mental Chemistry, yaitu apabila terjadi gabungan dari beberapa tanggapan, maka sifat yang terdapat pada masing-masing anggapan, dan timbullah sesuatu hal yang baru, yang sama sekali lain sifatnya dari tiap-tiap anggapan itu tadi.
3.      Teori ilmu jiwa Wundt, tentang Schopferischesynthese, seperti yang tersebut diatas.
4.      Yang mempelopori ilmu jiwa gestalt ialah Ch. V. Enrenfels, yang mengadakan penyelidikan dalam hal pengamatan, yang kemudian menyimpulkan bahwa :
a.       Kebulatan adalah lebih mengandung arti dari pada jumlah bagian-bagian.
b.      Kebulatan selalu timbul dahulu dari pada bagian-bagian.

D.    Penerapan Terapi Gestal
Terapi Gestalt difokuskan pada perasaan-perasaan klien, kesadaran atas saat sekarang, pesan-pesan tubuh, dan penghambat-penghambat kesadaran. Ajaran Perls adalah “kosongkan pikiran anda dan capailah kesadaran”.
Tugas terapis adalah membantu klien dalam melaksanakan peralihan dan dukungan ekternal kepada dukungan internal dengan menentukan letak jalan buntu. Jalan buntu adalah titik tempat individu menghindari mengalami perasaan-perasaan yang mengancam karena dia merasa tidak nyaman.
Perls (1969a, hlm. 36) mengemukakan bahwa cara untuk menghindari manipulasi yang mungkin dilakukan klien adalah membiarkan klien menemukan sendiri potensi-potensinya yang hilang. Klien menggunakan terapis sebagai “layar proyeksi” dan memandang terapis sebagai pemberi apa-apa yang hilang pada dirinya.
Satu fungsi yang penting dari terapi Gestalt adalah memberikan perhatian pada bahasa tubuh kliennya. Isyarat-isyarat nonverbal dari klien menghasilkan inforasi yang kaya bagi terapis, sebab isyarat-isyarat itu sering “mengkhianati” perasaan-perasaan klien, yang klien sendiri tidak menyadarinya.
Perls (1969a, hlm. 54) mengatakan bahwa postur, gerakan-gerakan, mimik muka, keraguan dan sebagainya, dapat menceritakan kisah yang sesungguhnya. Ia mengingatkan bahwa komunikasi verbal sering mengandung kebohongan dan bahwa jika terapis terpusat pada isi, maka dia kehilangan esensi pribadi klien. Komunikasi yang nyata ada di seberang kata-kata. “Bunyi menceritakan segalanya kepada anda. Segenap hal yang orang ingin mengungkapkannya ada disana bukan di dalam kata-kata. Apa yang kita katakan hampir semuanya bohong. Akan tetapi suara yang ada disana, gerak tangan, postur, mimik muka, bahasa psikomatik”.

Terapi Gestalt memiliki beberapa sasaran penting yang berbeda. Sasaran dasarnya adalah menantang klien agar berpindah dari “didukung oleh lingkungan” kepada “didukung oleh diri sendiri”.[7] Menurut Perls (1969a, hlm. 29) sasaran terapi adalah menjadikan pasien tidak bergantungan pada orang lain, menjadikan pasien menemukan sejak awal bahwa dia bisa melakukan banyak hal, lebih banyak daripada yang dikiranya”.[8]
Levitsky dan Perls (1970, hlm. 144-149) menyajikan suatu uraian ringkas tentang sejumlah permainan yang bisa digunakan dalam terapi Gestalt, yang mencakup:[9]
1.      Permainan-Permainan Dialog
2.      Membuat lingkaran
3.      Urusan yang tak selesai,
4.      “Saya memikul tanggung jawab”,
5.      “Saya memiliki suatu rahasia”,
6.      Bermain proyeksi
7.      Pembalikan
8.      Irama kontak dan penarikan
9.      “Ulangan”
10.   “Melebih-lebihkan”
11.   “Bolehkah saya memberimu sebuah kalimat?”
12.  Permainan-permainan konseling perkawinan, dan
13.  “Bisakah anda tetap dengan perasaan ini?
Penerapan dalam Terapi Individual dan Kelompok
Terapi gestal bisa diterapkan dalam berbagai cara , baik dalam kondisi individu maupun kelompok. Dalam konseling, terapi gestal bisa diterapkan dalam gaya gestal terbatas di mana interaksi klien dengan terapis berskala minimal. Klien menerjemahkan pengalaman segeranya ke dalam situasi permainan peran di mana klien mempersonifikasikan segenap aspek kesadarannya. Dalam bentuknya yang murni ini, reaksi-reaksi klien terhadap terapis menjadi bagian dari proyeksi-proyeksi fantasi klien.
Selain itu, terapi individual bisa juga dilaksanakan dalam bentuk yang kurang murni, yang ditandai oleh dialog antara klien dengan terapis. Terapis juga bisa menyarankan percobaan-percobaan guna membantu klien dalam memperoleh fokus yang lebih tajam kepada apa yamhg dilakukannya sekarang. Akan tetapi, terapis juga membawa reaksi-reaksinya ke dalam dialog, dan karenanya dia lebih dari sekedar pengarah terapi individual. Polster dan Polster (1973) dan Kempler(1973), yang merupakan tokoh-tokoh utama dalam terapi gestal mengimbau terapis agar aktif, membuka diri, dan melibatkan pendekatan yang manusiawi.
Tidak jauh berbeda dengan terapi individual, terapi kelompok juga bisa dipraktekkan dalam konteks gestal, tetapi kurang murni. Para anggota kelompok memiliki kebebasan lebih besar untuk berinteraksi secara spontan, dan terapis bisa merangsang interaksi antar anggota. Variabel ya ng penting adalah menetapkan apakah intervensi akan membantu ataukah mengacaukan.[10]
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penerapan yang pantas dan teknik-teknik terapi gestal adalah:[11]
1.      Waktu
2.      Jenis klien yang ditangani
3.      Setting yang dihadapi
Penerapan di Sekolah: Proses Belajar-Mengajar
Metodelogi Gestal ini juga bisa diaplikasikan untuk mengatasi anak-anak maupun remaja di lingkungan sekolah. Lederman mengintegrasikan konsep-konsep terapi gestal dalam mengonfrontasikan anak-anak dengan cara-cara mereka menghindari pengguaan kekuatan pribadinya, dan ia menuntut, berdasarkan kepribadiannya sendiri dan hubungannya yang sungguh-sungguh dengan anak-anak, agar anak-anak itu menerima tanggung jawab atas apa yang dilakukan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Lederman bahwa, para siswa tidak akan mempelajari pelajaran sebelum mereka menangani secara efektif kekacauan emosi yang menghambat konsentrasi pada tugas-tugas belajar.
Brown (1971) telah memperlihatkan suatu cara penerapan pendekatan gestal pada situasi belajar-mengajar yang menghasilkan perubahan-perubahan tingkah laku yang positif pada para siswa dan menunjukkan bahwa penerapan terapi gestal itu tidak hanya membuat para siswa menjadi lebih baik, tetapi juga membantu mereka dalam memperluas hubungan antar manusianya.


















BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Terapi Gestalt adalah suatu terapi eksistensial yang menekankan kesadaran disini-dan-sekarang yang fokus utamanya ada pada apa dan bagaimana-nya tingkah laku serta peran urusan yang tak selesai dari masa lampau yang menghambat kemampuan individu untuk bisa berfungsi secara efektif. Berikut ini adalah tokoh-tokoh terapi gestal Franz Brentano (1838-1917), Christian Von Ehrenfels (1859-1932), Max Wertheimer (1880-1943), Kurt Koffka (1886-1941), Wolfgang Kohler (1887-1967), Kurt Lewin (1890-1947), Fritz Perls (1893-1970) dan F. Krueger
Latar belakang timbulnya Ilmu Jiwa Gestalt di pengaruhi oleh hal-hal berikut ini, yaitu : Plato dan Aristoteles yang telah menginsafi bahwa jumlah bagian-bagian, belum sama dengan keseluruhan yang merupakan suatu kebulatan, Guthe dan Schiller , yang selalu menggunakan istilah gestalt, pada suatu keutuhan yang bulat, Wundt, berpendapat bahwa di atas unsur-unsur yang terdapat pula gejala-gejala kejiwaan, dengan asas schopferi schesyntheses (hubungan yang menciptakan).
Terapi gestal bisa diterapkan dalam berbagai cara , baik dalam kondisi individu maupun kelompok. Dalam konseling, terapi gestal bisa diterapkan dalam gaya gestal terbatas di mana interaksi klien dengan terapis berskala minimal.Terapi kelompok juga bisa dipraktekkan dalam konteks gestal, tetapi kurang murni. Para anggota kelompok memiliki kebebasan lebih besar untuk berinteraksi secara spontan, dan terapis bisa merangsang interaksi antar anggota.


[1]Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta 1998.h.224
[2]Robert L.Solso, Psikologi Kognisi Edisi Kedelapan, Jakarta : Erlangga 2007.h.126
[3] Triantoro safaria, Terapi & Konseling Gestalt, Yogyakarta : Graha Ilmu 2005.h. 1
[4]Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan Dengan Aliran-Aliran Dan Tokoh-Tokoh Psikologi, Jakarta : Bulan Bintang 1979. h. 151
[5]Agus Sujanto, Psikologi Umum, Jakarta : Bumi Aksara 1993. h.165
[6]Agus Sujanto, Psikologi Umum.h.165-166
[7]Gerald Corey., Teori dan Praktek konseling dan Psikoterapi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005.h.123
[8]Ibid.
[9]Gerald Corey., Teori dan Praktek konseling dan Psikoterapi. h.132-133
[10] Gerald Corey, Teori dan Praktek konseling dan Psikoterapi. h.145
[11]Gerald Corey, Teori dan Praktek konseling dan Psikoterapi. h.146

Tidak ada komentar:

Posting Komentar